Mengapa Safar Disebut Bulan Perang: 3 Alasan Historis yang Mengejutkan

Mengapa Safar Disebut Bulan Perang: 3 Alasan Historis yang Mengejutkan

Mengapa Safar Disebut Bulan Perang: 3 Alasan Historis yang Mengejutkan

08/08/2025 | Humas BAZNAS

Safar sebagai Bulan Perang telah lama menjadi tema pembicaraan dan renungan umat Islam. Dalam tradisi Muslim, bulan Safar seringkali dikaitkan dengan peristiwa konflik dan peperangan. Dalam artikel ini, kita akan membahas secara mendalam mengapa Safar sebagai Bulan Perang disebut demikian—dengan mencermati tiga alasan historis yang mengejutkan. Harapannya, tulisan ini memperkaya pengetahuan dan menumbuhkan kecintaan terhadap sejarah Islam, dengan penjelasan yang lugas dan mudah dipahami.

1. Perang-perang Awal pada Bulan Safar

Salah satu alasan mengapa disebut Safar sebagai Bulan Perang adalah karena sejumlah pertempuran penting terjadi tepat pada bulan ini. Misalnya, Perang Mu’tah dilancarkan pada bulan Safar tahun ke-8 Hijriyah. Safar sebagai Bulan Perang mencerminkan tradisi sejarah awal Islam ketika perjuangan fisik masih sangat terasa.

Dalam konteks Safar sebagai Bulan Perang, Perang Mu’tah menjadi simbol keberanian Sahabat di saat genting. Banyak pasukan Muslim yang terjun ke medan laga bertepatan dengan datangnya bulan Safar, sehingga julukan Safar sebagai Bulan Perang kian melekat dalam hati umat.

Sejarah mencatat bahwa konflik pada bulan Safar bukan hanya sekali dua kali—maka wajar jika ungkapan Safar sebagai Bulan Perang muncul dalam masyarakat dan budaya populer. Penguasaan musuh terhadap mekanisme perang ini membuat umat teringat: bulan Safar bukan sekadar waktu, tapi momentum perang yang dinanti-nanti dalam sejarah.

Selain Mu’tah, berbagai tarikh peperangan lain—baik kecil maupun besar—jatuh pada bulan Safar, sehingga ungkapan Safar sebagai Bulan Perang pun semakin melekat dalam tradisi sejarah Islam. Hal ini menunjukkan dinamika dakwah dan perjuangan fisik umat di era awal perkembangan Islam.

Dengan demikian, banyak santri, peneliti, dan pengkaji sejarah Islam merujuk pada Safar sebagai Bulan Perang untuk menyampaikan bahwa perjuangan fisik umat Islam sering dipadukan dengan momentum spiritual dalam fase bulan tersebut.

2. Makna Simbolis dan Psikologis dalam Masyarakat

Selain fakta sejarah, ungkapan Safar sebagai Bulan Perang juga memiliki makna simbolis dalam psikologis kolektif umat Islam. Masyarakat masa lalu sering mengaitkan bulan Safar dengan situasi sulit dan cobaan, sehingga mereka menilai bulan ini “berperang” dalam artian tantangan hidup.

Dalam arti simbolis, Safar sebagai Bulan Perang sering disampaikan oleh ulama untuk menggugah kewaspadaan umat. Meskipun bukan perang fisik, “perang” di sini dimaknai sebagai perjuangan spiritual melawan penyakit, bala, atau kesulitan ekonomi yang menurut tradisi lebih sering dialami saat Safar tiba.

Pemahaman ini terasa dalam banyak ceramah atau tulisan dakwah—menggunakan istilah Safar sebagai Bulan Perang bukan bermaksud membenarkan mitos, melainkan sebagai pengingat bahwa bulan tersebut merupakan tantangan yang mesti dihadapi dengan kesabaran dan tawakkal kepada Allah SWT.

Cara memahami Safar sebagai Bulan Perang dalam arti psikologis juga membantu calon penghafal Al-Qur’an atau mahasiswa muslim untuk mempersiapkan mental mereka secara lebih matang di bulan tersebut. Ungkapan ini turut menjadi motivasi agar tidak lengah dan tetap istiqamah.

Dengan begitu, selain aspek historis, masyarakat modern pun tetap memakai ungkapan Safar sebagai Bulan Perang—dengan makna bahwa bulan ini adalah bulan untuk memperkuat diri, berpersiapan menghadapi ujian, dan memperbanyak ibadah sebagai “senjata” perang spiritual.

3. Upaya Meluruskan Mitos dan Mempertebal Keyakinan

Ironisnya, meski disebut Safar sebagai Bulan Perang, banyak ulama hari ini justru menegaskan bahwa bulan Safar tidak membawa kesialan dan tidak ada nash dari Rasulullah saw. yang mengabarkan bahwa Safar adalah bulan musibah. Oleh sebab itu, ungkapan Safar sebagai Bulan Perang kemudian digunakan untuk memperbaiki persepsi.

Dalam literatur fiqh dan aqidah, dikutip bahwa Rasulullah SAW bersabda bahwa musibah bukan datang karena bulan Safar, tetapi karena sebab-sebab duniawi lainnya—sehingga stigma Safar sebagai Bulan Perang dijadikan semacam “perlombaan argumentatif” antara penguat tradisi dan pelurus ajaran.

Gerakan dakwah dan kajian umat Islam kontemporer—ulama maupun ustazah—sering membahas tema Safar sebagai Bulan Perang dalam kajian tafsir atau hadits. Tujuannya adalah mengubah pandangan keliru tentang nasib dan takdir, bahwa bulan bukanlah penyebab, tetapi kehendak Allah semata.

Dalam praktik, kajian tematik tentang Safar sebagai Bulan Perang di masjid maupun pesantren menjadi sarana edukasi bahwa umat harus waspada, bukan karena bulan Safar membawa malapetaka, tetapi karena setiap waktu adalah medan “perang” melawan hawa nafsu, setan, dan godaan hidup.

Dengan demikian, ungkapan Safar sebagai Bulan Perang juga berfungsi sebagai penguat akidah—mengajak umat untuk mempertebal keyakinan bahwa hanya Allah yang mengatur kehidupan, sementara manusia cukup berikhtiar dan tidak tunduk pada tahayul atau mitos.

Dalam rangkuman, julukan Safar sebagai Bulan Perang memiliki tiga alasan historis dan simbolis yang kuat. Pertama, banyak pertempuran—terutama Perang Mu’tah—jatuh pada bulan ini; kedua, makna simbolis dan psikologis yang mendorong kewaspadaan spiritual; ketiga, pemanfaatan ungkapan ini untuk meluruskan mitos dan mempertebal keimanan. Semoga penjelasan ini memperkaya perspektif kita dan meneguhkan bahwa setiap tantangan—baik fisik maupun spiritual—sebagaimana diingat oleh ungkapan Safar sebagai Bulan Perang seyogianya dihadapi dengan iman, ilmu, dan ketakwaan. Wallahu a’lam.

Dapatkan Update Berita dan Informasi Penyaluran Zakat, Infak, dan Sedekah.

Follow us

Copyright © 2025 BAZNAS

Kebijakan Privasi   |   Syarat & Ketentuan   |   FAQ